Sitou Timou Tumou Tou
Malam ini gua nonton program TV, sebuah talkshow gitu, yang hostnya seorang magician. Gua pikir, malam ini acaranya akan nggak terlalu spesial, dan hanya akan menjadi just another boring talkshow series. Ternyata, talkshow malam ini mengundang dua orang, suami-istri, sebagai bintang tamu.
Yang menjadi perhatian menarik bagi mata dan pikiran gua malam tadi adalah sang istri yang ternyata seorang tunanetra, yang menurut ceritanya, dia kabur dari rumah sampai harus merasakan kejamnya perantauan, miras, rokok, dll. tapi kemudian dia cerita kalo dia ngajak temennya untuk tinggal bareng dia; singkat cerita, sekarang dia udah punya 100 orang yang tinggal bareng dia, dan tempat itu dikasi nama Yayasan The School of Life.
Bayangin aja tuh, sekarang dia udah nampung orang sebanyak itu. Dan menurut dia ini, mereka butuh sekitar RP 70jt untuk survive hidup. Yg lebih kerennya lagi, untuk nyari 70jt itu, mereka jualan barang; target marketnya adalah orang-orang di kelas ekonomi menengah ke bawah. Tujuannya? Biar mereka bisa dapet untung, tapi juga sekaligus memajukan orang-orang kelas ekonomi menengah ke bawah itu. Sakti, kan?
Gua jadi mikir, kadang-kadang kita perlu dibutakan baru kita sadar betapa pentingnya mata itu. Kadang-kadang kita harus merasakan kehilangan untuk menyadari betapa kita seharusnya bersyukur untuk apa yang kita punya. Kita cuma terlalu banyak komplain dan pilih-pilih dalam hidup ini.
Dan pernah ngga kita bikin kayak apa yang foundernya bikin di The School of Life ini, hidup untuk menghidupi orang lain? Itulah guna manusia hidup sekarang ini. Kalo kata orang Minahasa, "SITOU TIMOU TUMOU TOU".
Sent from BlackBerry® on 3
Yang menjadi perhatian menarik bagi mata dan pikiran gua malam tadi adalah sang istri yang ternyata seorang tunanetra, yang menurut ceritanya, dia kabur dari rumah sampai harus merasakan kejamnya perantauan, miras, rokok, dll. tapi kemudian dia cerita kalo dia ngajak temennya untuk tinggal bareng dia; singkat cerita, sekarang dia udah punya 100 orang yang tinggal bareng dia, dan tempat itu dikasi nama Yayasan The School of Life.
Bayangin aja tuh, sekarang dia udah nampung orang sebanyak itu. Dan menurut dia ini, mereka butuh sekitar RP 70jt untuk survive hidup. Yg lebih kerennya lagi, untuk nyari 70jt itu, mereka jualan barang; target marketnya adalah orang-orang di kelas ekonomi menengah ke bawah. Tujuannya? Biar mereka bisa dapet untung, tapi juga sekaligus memajukan orang-orang kelas ekonomi menengah ke bawah itu. Sakti, kan?
Gua jadi mikir, kadang-kadang kita perlu dibutakan baru kita sadar betapa pentingnya mata itu. Kadang-kadang kita harus merasakan kehilangan untuk menyadari betapa kita seharusnya bersyukur untuk apa yang kita punya. Kita cuma terlalu banyak komplain dan pilih-pilih dalam hidup ini.
Dan pernah ngga kita bikin kayak apa yang foundernya bikin di The School of Life ini, hidup untuk menghidupi orang lain? Itulah guna manusia hidup sekarang ini. Kalo kata orang Minahasa, "SITOU TIMOU TUMOU TOU".
Sent from BlackBerry® on 3
test
ReplyDeletebener tuh..salut buat foundernya :D
ReplyDelete