Luck or Destiny?

Setelah gua lulus dari kampus gua yang ada di Airmadidi sana, gua putuskan untuk nggak cari kerja dulu, karena beberapa alasan seperti belum ada ijasah (ngantri) dan karena gua harus break sejenak setelah rentetan shock therapy di bulan Mei sebelumnya (ntar gua cerita deh).

Banyak orang-orang di sekitar gua yang anggap gua ini pintar dan pasti bisa dapat kerjaan dan akan kerja di sebuah tempat yang bonafit; bahkan ada yang pikir gua akan direkrut kampus gua untuk ngajar. Well, mereka itu salah besar. Buktinya, gua nggak dapat-dapat kerjaan juga, ataupun ditarik masuk untuk ngajar di kampus. Gua aja heran kenapa teman-teman bisa anggap gua ini pintar... Padahal gua ini standar aja (biasanya kalo udah merendahkan diri gini, sebenarnya minta dipuji lagi... hahahhahahahahha).

Anyway, setelah beberapa lama, mulai ada teman-teman tanya, "udah kerja di mana, Glenn?" dan bahkan menanyakan pertanyaan-pertanyaan yang paling gua nggak suka; pertanyaan itu adalah pertanyaan dalam bentuk menuntut si tertanya untuk melakukan hal yang diinginkan si penanya (mungkin kalian agak bingung baca ini) seperti, "jadi, kapan kerja, Glenn?" atau "jadi dosen aja, Glenn." dan segala macam pertanyaan bangke' yang gua nggak mau dengar (tapi sayangnya kebanyakan orang masih tetap pake pertanyaan itu.

Tiga minggu setelah gua lulus, di dalam masa penantian ijasah, gua mulai tertarik untuk cari kerja.  Biarpun cuma modal CV dulu (btw, silakan liat CV gua di sini, untuk liat info gua), gua coba melamar kerjaan. Tapi, sebelum melamar kerja, gua udah sempat berdoa untuk meminta tiga hal untuk kerjaan gua, yaitu:
-  daerah kerja baru, di luar Manado.
-  orang-orang baru,
-  dan (kalo nggak salah) tempat kerja di mana gua bisa melayani.

Maka mulailah gua memakai jurus yang sering dipakai seorang freshgraduate untuk melamar pekerjaan: jurus membabi-buta. Gua kirim lamaran-lamaran kerja gua ke banyak tempat via mesin-mesin pencari pekerjaan di internet. Nggak cuma banyak lamaran, gua juga kirim ke tempat kerja yang bidangnya nggak berdasarkan latar belakang akademis gua.

Setelah hari itu, menunggu lah gua di kamar, nongkrong di depan layar komputer yang tersambung ke internet untuk menunggu email yang masuk. Tapi, semakin lama gua nunggu, semakin besar rasa keputusasaan itu. Gua udah mulai deg-degan kalo sampai gua nggak bisa dapat kerjaan. Kan malu dong, udah tua terus nggak ada kerjaan. Tapi, suatu hari gua nggak sengaja baca sesuatu di buku Sekolah Sabat tentang menunggu dan berserah. Setelah baca itu, gua langsung berpikir kalau gua sebenarnya udah melakukan sebuah kesalahan dengan meragukan Tuhan gua.

Suatu hari, waktu udah agak sorean sekitar jam 3, gua kecapean dan ketiduran. Pas bangun jam 5an, gua lihat di handphone ada satu missed call dari nomor kantor Jakarta. Awalnya, gua nggak terlalu pikirin tentang telepon itu, tapi kemudian gua mulai curiga itu adalah telepon untuk kerjaan. Karena gua pengen banget coba itu, gua telepon lah nomor kantor itu. Tapi, ternyata nggak diangkat-angkat. Jadi, gua pikir kalo itu mungkin bukan hoki gua. Eh, ternyata besok sore juga itu telepon dari nomor yang sama lagi buat gua. Gua langsung angkat. Ternyata itu adalah sebuah telepon untuk job interview. Walaupun interview kerjaan itu di sebuah instansi yang bukan pendidikan, tapi gua pergi aja. Dengan modal iseng-iseng, ternyata gua tembus sampe ke seleksi tahap akhir, yaitu medical check up. Singkatnya, gua lolos. dan sekarang gua udah dalam masa training.

What can I say? Apakah ini bisa gua sebut sebagai hoki gua? Atau gua bisa bilang ini udah takdir gua? I don't have answer to those two questions, tapi gua tahu satu hal. Apapun yang terjadi, ini adalah rencana Tuhan untuk gua; dan di manapun gua ditempatkan untuk bekerja, pasti itu juga rencana Tuhan. Satu hal yang paling gua senang dari rencana Tuhan adalah bahwa Dia TIDAK AKAN PERNAH menelantarkan gua karena Dia yang tunjuk tempatnya. DIA PASTI AKAN SELALU PELIHARA dan PERMULUS JALAN HIDUP gua.

This is just a thought for you. JANGAN PERNAH SEPELEKAN TUHAN.

Comments